PORTAL MOJOKERTO - Konflik di Pulau Rempang baru-baru ini telah menjadi perbincangan hangat di dunia maya, memunculkan ketegangan antara aparat kepolisian dan warga. Artikel ini akan menguraikan kepemilikan Pulau Rempang, kronologi konflik lahan yang memicu kerusuhan, dan pertarungan antara polisi dan warga.
Kepemilikan Pulau Rempang
Pulau Rempang adalah properti Pemerintah Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Menurut sumber-sumber, pada tahun 2014, pulau ini dijadwalkan akan dimanfaatkan oleh investor setelah menerima izin pada tahun 2001.
Menurut Menko Polhukam Mahfud MD, Pulau Rempang adalah aset negara yang hak pengelolaannya telah diberikan kepada sebuah perusahaan.
Ini mencakup hak penggunaan lahan untuk kepentingan bisnis. Penetapan ini telah terjadi sejak tahun 2001 dan 2002.
Perusahaan Pengelola dan Investasi China
Kronologi dari kasus tersebut bermula, lahan di Pulau Rempang diberikan kepada PT MEG, yang merupakan bagian dari Artha Graha Group milik Tommy Winata. PT MEG diberi hak konsesi selama 30 tahun, bahkan bisa diperpanjang hingga 80 tahun.
Selain Pulau Rempang, Pulau Setokok dan Pulau Galang yang masing-masing seluas 300 hektar juga menjadi bagian dari rencana pengelolaan.
Namun, sejak tahun 2004, pembangunan yang diharapkan belum terlaksana, dan lahan tersebut kemudian ditempati oleh warga setempat.
Pada tahun 2023, perusahaan China bernama Xinyi berencana untuk berinvestasi di Pulau Rempang dengan nilai mencapai Rp172 triliun. Rencananya adalah membangun Rempang Eco-City, sebuah kawasan industri hijau, jasa, dan pariwisata.
Pengosongan Lahan dan Pertikaian dengan Warga
Ketika investor China berencana memasuki kawasan tersebut, mereka menemui kendala. Lahan yang diharapkan kosong ternyata telah dihuni oleh warga sekitar.
Upaya pengosongan lahan memicu bentrokan antara pihak kepolisian dan masyarakat setempat, yang sangat yakin bahwa tanah di Pulau Rempang adalah tanah ulayat yang tidak boleh diganggu gugat.
Konflik lahan di Pulau Rempang menjadi kompleks dengan pertimbangan hukum yang harus diperhatikan.
Sementara pemerintah dan investor melihatnya sebagai hak milik yang diberikan kepada perusahaan, masyarakat setempat menganggapnya sebagai tanah ulayat yang harus dipertahankan.
Pertarungan ini belum berakhir, dan perlu pemahaman mendalam tentang hukum dan budaya setempat untuk menemukan solusi yang adil dan berkelanjutan.***