Namun, sejak tahun 2004, pembangunan yang diharapkan belum terlaksana, dan lahan tersebut kemudian ditempati oleh warga setempat.
Pada tahun 2023, perusahaan China bernama Xinyi berencana untuk berinvestasi di Pulau Rempang dengan nilai mencapai Rp172 triliun. Rencananya adalah membangun Rempang Eco-City, sebuah kawasan industri hijau, jasa, dan pariwisata.
Pengosongan Lahan dan Pertikaian dengan Warga
Ketika investor China berencana memasuki kawasan tersebut, mereka menemui kendala. Lahan yang diharapkan kosong ternyata telah dihuni oleh warga sekitar.
Upaya pengosongan lahan memicu bentrokan antara pihak kepolisian dan masyarakat setempat, yang sangat yakin bahwa tanah di Pulau Rempang adalah tanah ulayat yang tidak boleh diganggu gugat.
Konflik lahan di Pulau Rempang menjadi kompleks dengan pertimbangan hukum yang harus diperhatikan.
Sementara pemerintah dan investor melihatnya sebagai hak milik yang diberikan kepada perusahaan, masyarakat setempat menganggapnya sebagai tanah ulayat yang harus dipertahankan.
Pertarungan ini belum berakhir, dan perlu pemahaman mendalam tentang hukum dan budaya setempat untuk menemukan solusi yang adil dan berkelanjutan.***